
Desa Podenura
Kecamatan Nangaroro, Kabupaten NAGEKEO - 53
SELVIANUS WAKA | 26 Agustus 2016 | 3.018 Kali Dibaca

Artikel
SELVIANUS WAKA
26 Agustus 2016
3.018 Kali Dibaca
SEJARAH DESA PODENURA
Pada masa Penjajahan Belanda, kawasan Nagekeo terdapat 4 (empat) wilayah Pemerintahan versi Penjajah Belanda yaitu Hamente Boawae, Hamente Wolowae, Hamente Kota dan Hamente Tenggo. Dari empat Wilayah Hamente berpusat di Boawae, dengan Pimpinan tiap Hemente adalah Kepala Hamente, sedangkan pimpinan umum dari tiap Hamente adalah Raja. Wilayah Hamente terdiri dari beberapa anak kampung yang dipimpin oleh Kepala Mere. TugAs Kepala Mere adalah mendata jumlah penduduk, jumlah kepala Suku dan nama kepala sukuserta jumlah kepala keluarga, jumlah harta kekayaan kelapa suku, jumlah penduduk laki-laki usia nuda dan dilaporkan ke pimpinan Hemente.
Pada masa itu Pemerintah di Indonesia masih menggunakan Hukum Belanda yang mengatur tentang tananan dan aturan kepemerintahan versi Belanda, sehingga yang namanya pmimpinan pemerintah desa, pusat pemerintahan desa kegatan-kegiatan seluruh masyarakat desa ditentukan dan mengutamakan kepentingan Belanda saja. Tidak mengherankan jika pada masa itu, banyak warga desa tidak memperoleh pendidikan dasar (buta huruf), kalau pun ada paling sebatas pada bisa baca dan tulis saja sudah merupakan keberuntungan bagi kaum tuan tanah dan kaum yang dapat diajak kerjasama untuk kepentingan Belanda.
Alkibat dari tidak memperoleh pendidikan dasar maka banyak warga desa yang terpencil sekalipun menjadi buruh (dengan biaya seadanya) untuk bekerja dikawasan pertanian milik Pemerintah Belanda, sehingga kehidupan ekonomi masyarakat desa sangat-sangat miskin, bahkan ada yang tidak memiliki pakaian. Masyarakat hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain terutama daerah perbukitan atau wilayah gunung sambil menghindari Belanda yang selalu memaksa kaum lelaki bekerja untuk Belanda dan kaum perempuan muda sebagai pemuas nafsu tentara Belanda.
Akibat dari sikap Belanda dan Raja yang selalu menggunakan kekuasaan yang berlebihan, maka Hamente wilayah Selatan dan Utara mulai dari Hamente Kota, Hamente Woloawe dan Hamente Tenggo memulai perlawanan terhadap Belanda dan Raja. Reaksi dari sikap perlawanan ini banyak kepala suku ditangkap dan dibunuh. Kaum lelaki banyak melarikan diri ke wilayah Nangaba (sekarang Kabupaten Endej) dan menetap di sana hingga sekarang.
Bentuk perlawanan kaum Hamente Kota dan Hamente Tenggo berbeda dengan dua Hamente lain. Taktik dan cara yang dibuat adalah dengan mematuhi dan bergabung dengan tentara Belanda sambil dengan cara mandadak menyerang dan membunuh tentara Belanda sampai habis, sehingga Belanda sangat kesulitan untuk memperoleh tambahan pasukan karena tidak ada lagi kurir yang ditugaskan untuk menyampaikan pesan ke pihak atasan mereka di tempat lain.
Akibat dari hal ini Belanda memutuskan untuk mundur dan kembali ke Markas Belanda di Jawa.Kepergian Belanda dari wilayah Nagekeo membuat para Kepala Suku yang tersisa segera mengambil sikap untuk membentuk pemerintahan sendiri masih bersifat Hamente versi lokal. Tiap Hamente dipimpin oleh Kepala Suku, dengan wilayah semakin diperkecil yang terdiri dari tiga atau empat anak kampung saja. Masyarakat diminta untuk mengolah lahan sebaik-baiknya dan tidak diijinkanberpindah-pindah, sehingga sewaktu-waktu Belanda datang, kekuatan melawan Belanda mudah dilakukan karena kaum lelaki terkonsentrasi secara cepat jika diperintahkan oleh Kepala Suku.
Bentuk Pemerintah Hamente berjalan sampai kedatangan Tentara Penjajah Jepang mendarat di Flores tahun 1943. Kehadiran tentara Jepang tidak membuat masyarakat dan Kepala Suku di Flores termasuk masyarakat dan Kepala Suku Tenggo takut karena menurut mereka saat itu bahwa tentara Belanda yang tinggi besar dapat dikalahkan apalagi tentara Jepang yang pendek-pendek,tidak dapat dikalahkan! Taktik dan cara yang digunakan sama dengan yang pernah digunakanuntuk melawan tentara Belanda.
Kehadiran Jepang ternyata lebih bersahabat dengan masyarakat dan KepalaSuku. Kepala Suku dimintai lahan kosong oleh untuk diolah dan menanam kapas. Benih Kapas didatangkan Jepang dari luar. Masyarakat diajarkan bagaimana menanam, menenun kapas untuk memenuhi kebutuhan sandang. Jepang juga mendatangkan alat tenun,mengajar dan melatih masyarakat (khusus para lbu dan Gadis-gadis) bagaimana menenun untuk menghasilkan kain tenun dalam berbagal corak dan warna. Warisan ketrampilan tenun bertahan sampai sekarang di berbagai wilayah di Nagekeo.
Kaum muda, Lelaki dan Perempuan dilatih menjadi prajurit untuk membantu Jepang jika Jepang diserang pihak musuh negara lain. Selain itu Jepang juga membangun jalan raya dengan mengguanakan tenaga masyarakat lokal khususnya laki-laki dan bekerja di wilayah masing-masing, sehingga sampai saat ini Pemerintah di daerah selalu berupaya meningkatkan jalan desa bekas peninggalan Jepang. Contoh nyata adalah ruas jalan Nangaroro- Keo Tengah.
Sejak Indonesia Merdeka Tahun 1945 Pemerintah Indonesia membentuk Pemerintahan sendiri dan membagi wialayah Indonesia dalam beberapa wilayah propinsi, di antaranya Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 1964 Pemerintah Propinsi terdiri dari beberapa Kabupaten dan Kabupaten terbagi dalam beberapa
wilayah Kecamatan, sedangkan wilayah Kecamatan dibagi dalam wialayah Desa sesuai dengan bekas wilayah Anak Kampung yang dipimpin oleh Kepala Mere
Pemerintah Hemente Tenggo terdiri dari banyak anak kampung sehingga mau dijadikan dalam sebuah desa cukup sulit karena dalam wialayah Hamente Tenggo terdiri dari beberapa kepala suku. Agar mudah dalam melakukan koordinasi, Hemente Tenggo dibagi dalan tiga wialayah desa yaitu Desa Tenggo Barat berpusat di Daja, Desa Tenggo Timur berpusat di Maunura, dan Desa Riti berpusat di Kulumboa.Namun dalam perkembangan kemudian Desa Tenggo Timur dirasa masih terlalu luas juga sehingga perlus dan dibagi lagi dalam wilayah yang lebih kecil, maka disepakati dibagi lagi menjadi Desa Podenura berpusat di Rerawete,Desa Tenggo berpusat di Pu'u Luto.
Desa Tenggo dalam perkembangan kemudian berubah nama menjadi Tonggo dengan alasan sederhana karena pusat wilayah tenggo adalah bagian wilayah desa Podenura, sehingga sangat ironis jika nama tenggo tetap digunakan. Alasan lain perubahan nama karena warga dusun Tonggo tepat berada di lembah tenggo yang dari asal usul warga tonggo bukan dari penduduk asli, tetapi warga dari luar yang terpaksa menetap karena perahu mereka hancur akibat diterjang gelombang laut.
Desa Podenura berada di bagian ruas jalan yang dibangun Jepang yang terdiri dari Anak Kampung Pode, Anak Kampung Usu, Anak Kampung Rerawete, Anak Kampung Mabha, Anak Kampung Dapoapo, Anak Kampung Bajo, Anak Kampung Maunura dan Anak Kampung Doka Mabke.
Pengertian "Podenura" pada awal pembentukan adalah: Pode, adalah Ikatan persaudaraan yang tak terpisahkan. Nura adalah pertalian/hubungan darah yang tidak bisa diingkari, karena orang-orang di Podenura merupakan hasil perkawinan dari Lelaki dan Perempuan muda antar anak kampung melalui proses hukum lokal yang masih berlaku sampai saat ini. Yang dalam bahasa lokal adalah "mada weki dhato".
Pengertian Desa dalam Pemerintah Indonesia setelah Jaman Orde Baru berubah yaitu Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsi masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa Podenura pun bergerak dalam perencanaan pembangunan desa sesuai dengan Arahan
Kebijakan Pembangunan Pemerintah, Pemerintah Derah Kabupaten/Kota.
Para Pejabat Kepala Desa semenjak berdirinya Desa Podenura adalah sebagai berikut :
NO | NAMA | MASA JABATAN | KETERANGAN |
1. | AGUSTINUS MANU | 1958 | KEPALA DESA |
2. | HUSEN TASO | 1963 | KEPALA DESA |
3. | FERDINANDUS FETO | 1964 -1989 | KEPALA DESA |
4. | MIKAEL MONI | 1989 - 1997 | KEPALA DESA |
5. | PAHLAWAN PUA MBUSA | 1997 - 2006 | KEPALA DESA |
6. | MARSIANUS NANI | 2006 - 2008 | KEPALA DESA |
7. | NOTARDEUS RIWU | 2010 - 2016 | KEPALA DESA |
8 | ANSELMUS NUWA | 2016 -2022 | KEPALA DESA |
Demikian selanyang pandang atau sejarah singkat Desa Podenura yang dapat kami sampaikan kepada para pegiat Medsos, semoga dapat bermanfaat untuk kita semua, terima kasih.
Komentar
Henorius Tede
26 Maret 2020 02:05:53
Oh ya dikoreksi kembali kata kata yg salah dalam penulisannya diatas. Terima kasih.
Kirim Komentar
Komentar Facebook
Statistik Desa

Populasi
463

Populasi
488

Populasi
-

Populasi
-

Populasi
951
463
Laki-laki
488
Perempuan
-
JUMLAH
-
BELUM MENGISI
951
TOTAL
Aparatur Desa

Penjabat Kepala Desa
ROBERTUS B PARAS

Sekretaris Desa
SERIGIUS WUDA DAGA, S.Sos

KAUR PERENCANAAN
KANISIUS SUSU

KAUR KEUANGAN
MARIANA KOA

KAUR UMUM DAN TATA USAHA
NUR ATIA USMAN

KASIE KESEJAHTERAAN
ANSELMUS NANGA

KASIE PEMERINTAHAN
EMILIANUS MEO

KASIE PELAYANAN
KRISTINA OWA

KEPALA DUSUN MAUNURA
ABDULLAH

KEPALA DUSUN RERAWETE
MERSIANA UMA

KEPALA DUSUN USU
SEVERINUS NDAPA

KEPALA DUSUN BAJOMABHA
KASMIRUS BHIA

OPERATOR SISKEUDES
FREDERIKUS RATO JOU



Desa Podenura
Kecamatan Nangaroro, Kabupaten NAGEKEO, 53
Hubungi Perangkat Desa untuk mendapatkan PIN
Masuk
Sinergi Program
Agenda

Belum ada agenda terdata
Komentar
Statistik Pengunjung
Hari ini | : | 477 |
Kemarin | : | 716 |
Total | : | 459,033 |
Sistem Operasi | : | Unknown Platform |
IP Address | : | 216.73.216.54 |
Browser | : | Mozilla 5.0 |
Jam Kerja
Hari | Mulai | Selesai |
---|---|---|
Senin | 08:00:00 | 14:00:00 |
Selasa | 08:00:00 | 14:00:00 |
Rabu | 08:00:00 | 14:00:00 |
Kamis | 08:00:00 | 14:00:00 |
Jumat | 08:00:00 | 12:00:00 |
Sabtu | Libur | |
Minggu | Libur |
Henorius Tede
26 Maret 2020 02:03:36
Suatu ulasan sejarah yg sangat bagus dan kalau bisa ulasan ini dibukukan dan ditambah dg beberapa tradisi dan adat budaya supaya menunjukkan identitas kita sebagai orang asli podenura.